![]() |
Ilustrasi/ google.com |
Oleh: Zakiyatur Rosidah
“Bertani sekarang itu biayanya mahal, banyak menguras tenaga,
dan belum tentu saat masa panen dapat untung. Kalau bisa jangan jadi petani.
Lebih baik mendapatkan penghasilan tetap, meski sedikit.”
Demikian
pandangan dari para orangtua yang kerap kali saya dengar. Kondisi ini yang
agaknya mendorong mereka untuk menyekolahkan putra-putrinya, namun orientasinya
adalah untuk masa depan putra-putrinya agar hidup ‘layak’, bukan menambah
pengetahuan dan mengentaskan kebodohan. Anggapan sebagian besar orangtua adalah
tak ada gunanya sekolah tinggi-tinggi jika kelak kehidupan putra-putrinya sama
dengan mereka; menjadi petani. Pemuda desa yang ‘sukses’ (baca: tidak menjadi
petani) dapat menciptakan rasa kebanggaan tersendiri bagi orangtua.
Misal,
di desa saya. Sebagian besar generasi mudanya tidak ada yang terjun dalam
urusan pertanian. Mereka lebih memilih menjadi buruh pabrik, karyawan kantoran,
atau tenaga honorer. Tak sedikit pula mereka yang mengadu nasib ke kota-kota
besar bahkan ke luar negeri karena mereka tidak melihat masa depan cerah pada
hamparan sawah dan ladang yang subur itu. Menjadi petani tak cukup menjanjikan,
pikirnya.
Sepinya
minat generasi muda terhadap dunia pertanian agaknya juga terjadi di pelbagai
daerah. Berdasarkan kajian Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), pada
tahun 2016 sebanyak 54% anak petani hortikultura dan 63% anak petani padi
bertekad tidak ingin menjadi petani. Selain itu, dilansir dari tirto.id, sebanyak
73% petani hortikultura dan 50% petani padi tidak menginginkan putra-putrinya
mengikuti jejak mereka. Dengan pandangan orangtua yang semacam itu, betapa
sektor pertanian tidak memiliki daya tarik yang mampu mengalahkan sektor
lainnya, terutama industri. Alhasil peran pemuda dalam hal regenerasi pada
sektor pertanian semakin lambat.
Menurunnya
kaum muda yang berkecimpung di sektor pertanian sudah barang tentu tidak lahir
dari ruang kosong, namun ada faktor-faktor yang melatarbelakanginya.
Pertama,
sistem
pendidikan yang ‘berhasil’ memisahkan peserta didik dengan lingkungan
kehidupannya. Agaknya tidak ada sekolah yang memang mendorong anak didiknya
merasakan denyut nadirnya para petani, alih-alih berpikir bagi kesejahteraan
dan kemakmuran mereka.
Kedua,
generasi
muda merasa terasingkan dari dunia pertanian karena mengaku mengetahui
informasi soal pertanian secara “otodidak”. Sebanyak 64% petani padi dan 86.7%
petani hortikultura mengaku tidak pernah diajarkan soal pertanian oleh
orangtua.
Ketiga,
massifnya
alih fungsi lahan pertanian. Hal ini sudah jamak diketahui, namun tidak banyak
disadari oleh sebagian masyarakat apalagi penguasa. Tak sedikit lahan pertanian
yang fungsinya beralih menjadi jalan tol, perkantoran, gedung-gedung yang
menjulang tinggi, wahana rekreasi, bahkan taman terbuka dengan dalih pemenuhan
persentase ruang terbuka hijau. Ironisnya, maraknya pembangunan ini tidak mempunyai
dampak positif yang signifikan, bahkan bisa merugikan banyak pihak selain apa
yang dialami petani. Selain tiga hal tersebut, tentu masih ada banyak lagi
sabab-musabab tidak tertariknya kaum muda untuk berkecimpung di sektor yang
satu ini.
Bila
kaum muda yang terlibat dalam dunia pertanian sangat minim, pastinya akan
berdampak pada kedaulatan pangan. Sebelumnya, perlu digarisbawahi bahwa
ketahanan pangan dan kedaulatan pangan merupakan dua konsepsi yang berbeda.
Dalam ketahanan pangan, yang terpenting adalah menyoal ketersediaan dan
cukupnya pangan bagi masyarakat yang membutuhkan. Tak peduli apakah pangan
tersebut harus impor sekalipun sehingga berimbas pada melemahnya daya tawar
hasil produksi para petani dalam negeri yang mempunyai corak kebudayaan agraris
ini, misalnya.
Hal
ini kontradiksi dengan konsepsi kedaulatan pangan. Dalam hal ini yang
ditekankan bukan hanya menyoal ketersediaan pangan saja, melainkan kemandirian
suatu wilayah untuk melakukan langkah-langkah inovatif, kreatif, dan visioner
dalam memenuhi kebutuhan masyarakat akan pangan. Konsep demikian tentu akan pro
petani sehingga terciptanya regulasi-regulasi yang menyeluruh pada bidang
pertanian.
Selain
itu, agaknya penting jika meletakkan profesi sebagai petani di atas dasar
teologis. Kita tahu sendiri, masyarakat kita mudah sekali tersulut api jika
terdapat diskursus yang menyinggung keyakinan. Mencari penghasilan untuk keluarga
atau bekal ibadah, dalam hal ini termasuknya bertani adalah salah satu ibadah
yang mulia. Terdapat teks-teks keagamaan yang mengisyaratkan hal ini, termasuk
ulama sekaliber Hadratusy Syaikh K.H Hasyim Asy’ari yang sangat menaruh
perhatian pada profesi tani.
Sekali
waktu beliau pernah menulis betapa pentingnya petani dalam suatu negara. Dalam
tulisan tersebut, beliau mengutip tulisan Muntaha dalam kitab Amalil
Khutaba:
“Pendek
kata, bapak petani adalah goedang kekajaan dan dari padanja itoelah Negeri
mengeloearkan belandja bagi sekalian keperloean menghendakinja dan di waktoe
orang pentjaci-tjaci pertolongan. Pa’ tani itoe ialah pembantoe Negeri jang
boleh dipertjaja oentoek mengerdjakan sekalian keperloean Negeri, jaitoe
diwaktoeja oentoek berbalik poenggoeng (ta’ soedi menolong) pada Negeri; dan
Pa’ tani itoe djoega mendjadi sendi tempat Negeri didasarkan.
Pun, beliau mengutip hadis riwayat Bukhari, “tidak
ada seorang Muslim menanam tanaman dan mencocokkan tumbuh-tumbuhan, kemudian
tanaman itu dimakan burung atau manusia dan hewan lainnya, melainkan dihitung
sedekah (bagi yang menanamnya)”. Tulisan Kiai Hasyim yang memuat wacana ini
terbit di Soeara Moeslim nomor 2 tahun ke-2, tertanggal 14 Januari 1944
Masehi atau 19 Muharram 1363 Hijriah.
Sungguh
mulia menjadi petani. Namun sayang, para penguasa agaknya tak menyadarinya, para
orangtua tak menginginkannya, dan sebagian besar kaum muda tak sudi bergelut di
dalamnya. Jadi, beranikah kalian menjadi petani?
0 Komentar